Apakah
perbedaan di antara asas culpabilitas dan asas praduga tak bersalah?
Culpabilitas
dan praduga tak bersalah (presumption of innocence) adalah dua asas yang
dikenal dalam hukum pidana dan hukum acara pidana. Asas-asas ini biasanya
berkaitan dengan tindak pidana atau perbuatan pidana dihubungkan dengan dapat
tidaknya seseorang dipertanggungjawabkan. Unsur kesalahan dari si pelaku tindak
pidana berupa kesengajaan (opzet) atau kelalaian (culpa). Baca
misalnya artikel Kelalaian
Tenaga Kesehatan Tak Bisa Dipidana.
Culpa
dapat diartikan sebagai kesalahan pada umumnya. Kesalahan pelaku dalam konteks
ini tidak seberat kesengajaan, yaitu timbul karena kurang berhati-hati,
sehingga akibat yang tidak disengaja, terjadi (Wirjono, 1989: 67).
Culpabilitas
adalah sebutan lain terhadap asas tiada hukuman tanpa kesalahan (geen straaf
zonder schuld) yang dikenal dalam hukum pidana.Pasal 6 ayat (2) UU No. 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (“UU Kekuasaan
Kehakiman”) menyebutkan “Tiada seorang pun dapat dijatuhi pidana, kecuali
apabila pengadilan karena alat pembuktian yang sah menurut undang-undang,
mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawab, telah
bersalah atas perbuatan yang didakwakan atas dirinya”.
Di
sini, jelas tampak bahwa asas culpabilitas berbasis pada terbuktinya kesalahan
(schuld) baik karena kesengajaan maupun karena kealpaan. Seseorang tak
bisa dihukum jika kesalahannya tidak terbukti. Bambang Poernomo (1984:
137) menegaskan kesalahan adalah elemen subjektif daristrafbaarfeit.
Sementara,
asas praduga tidak bersalah mengandung arti seseorang tidak bisa dianggap
bersalah sebelum ada putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap. Asas ini, oleh Andi
Hamzah (2001: 12) dimasukkan sebagai salah satu asas penting
dalam hukum acara pidana. Penjelasan UmumKitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”) menyebutkan
“setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan
di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai ada putusan
pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap”.
Mengenai asas ini baca artikelTentang Asas
Praduga Tak Bersalah.
Asas
ini juga dikenal dalam Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman, dan Undang-Undang
Tindak Pidana Korupsi. Coba simak rumusan Pasal 8 UU Kekuasaan
Kehakiman: “Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut,
atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada
putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan
hukum tetap”.
Manifestasi
asas praduga tak bersalah dalam praktik peradilan adalah selama proses
peradilan masih berjalan (Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, Mahkamah
Agung), dan belum mempunyai kekuatan hukum tetap, maka terdakwa belum dapat
dikategorikan bersalah sebagai pelaku tindak pidana. Sehingga, selama proses
peradilan berjalan, ia harus mendapatkan hak-haknya sebagaimana diatur
Undang-Undang (Lilik Mulyadi, 2007: 16).
Demikian
penjelasan kami,mudah-mudahan sejalan dengan inti pertanyaan yang disampaikan.
Untuk membahas lebih lanjut masalah ini, Anda dapat merujuk pada buku-buku
referensi dan peraturan perundang-undangan.
Dasar
hukum:
Referensi:
1. Andi
Hamzah. Hukum Acara Pidana Indonesia (edisi revisi). Jakarta:
Sinar Grafika, 2001.
2. Bambang
Poernomo. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984.
3. Lilik
Mulyadi. Hukum Acara Pidana, Suatu Tnjauan Hukum Terhadp Surat Dakwaan,
Eksepsi dan Putusan Peradilan. Bandung: Citra Aditya Bakti, 2007.
4. Wirjono
Prodjodikoro. Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia. Bandung: Eresco,
1989.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar